Rabu, 23 Mei 2012
Dalam segi kebudayaan yang menonjolkan kebatinan di segala
aspeknya, ialah wayang, yang penggemarnya sangat luas di pelbagai lapisan
dan golongan masyarakat yang umurnya tua sekali, bahkan pernah dinyatakan
2000 tahun lebih.
Menurut "sekaol" (sahibul hikayat) yang pertama-tama
membuat cerita wayang, ialah Prabu Palasara. Kemudian berturut-turut
menyusun cerita wayang:
Empu Sindhusastra | cerita Arjuna Sasrabahu |
Empu Darmaya | cerita Smaradhanana |
Empu Kanwa | cerita Arjuna Wiwaha |
Empu Sedah | cerita Bathara Yudha |
Empu Triguna | cerita Kresnayana |
Empu Manoguna | cerita Sumanasantaka |
Empu Panuluh | cerita Hariwangsa dan Gatotkacasraya |
Empu Tantular | cerita Arjuna Wijaya |
Para Wali menggunakan wayang sebagai alat dalam menyebarkan
agama. Di antara wali yang membuat wayang (bukan menyusun cerita wayang)
ialah Sunan Giri, berbentuk wayang Bathara guru. Oleh sebab itu sebagai
penghargaan atas jasanya, Bathara Guru disebut juga GIRI NATA.
Karena para Empu, yaitu Pujangga yang mendalami hidup
kebatinan, maka untuk menikmati cerita wayang harus dilihat juga dari segi
kebatinan. Maka tersebutlah seperti berikut:
Kekayon rineka jalma, dalang murba "wayang".
Wayang murba dalang, nggoleki kang anggoleki.
Nayogo wali sasanga, dalangna Sang Wali Tunggal, lalajo nu lalajona
Maksudnya:
Kayu direka seperti orang.
Dalang menguasai wayang, segala ucap lampah wayang dilakukan oleh dalang.
Namun wayang menguasai dalang, karena dalang berlaku, berbicara menurut sifat wayang.
Lir ibarat Tuhan Yang Maha Esa yang menggerakkan semua umatNya, namun
segala gerakannya itu sesuai dengan kehendak semua umatNya sendiri.
Nggoleki kang anggoleki, dengan Penguasa Tuhan Yang Maha
Esa yang ada pada diri, umat mencari Tuhannya padahal yang menggerakkan
dirinya itu, adalah Pengawas Tuhan (dekatnya tanpa gepokan) ibarat urat
leher dengan leher masih terdapat antara, namun antara Kaula dan Gustinya
dekat tiada antara lagi = (Tunggal).
Nayaga Wali Sasanga: Yang mengantar itikad kita ialah:
- Otak dengan elingannya.
- Mata dengan lihatnya.
- Kuping dengan dengarnya.
- Hidung dengan ciumnya.
- Mulut dengan ucapnya.
- Syaraf dengan rasanya.
- Hati dengan pikirnya.
- Tangan dengan geraknya.
- Kaki dengan langkahnya.
Dalangnya Sang Wali Tunggal, yaitu Sang Aku yang mempunyai
itikad, yang murba menguasai badan sekujur. Dari itu seharusnya melihat
wayang sambil mawas diri, apakah yang dipentaskan dalam pertunjukan
wayang itu ada yang mirip dengan kelakuan sendiri seperti: Satria,
Ponggawa, Bapak Maling, atau Banaspati.
Adalah suatu kenyataan bahwa ada sementara orang yang
menonjolkan Gatotkaca sebagai lambang dirinya, padahal pribadinya sangat
pengecut. Karena sifat pribadinya itu maka lambang pewayangannya yang
tepat bukanlah Gatotkaca namun Citrayuda.
Ada pula yang menyenangi Darmakusuma, karena kesabarannya
padahal ia seorang yang tidak berperasaan. Maka lambang pewayangannya yang
tepat baginya bukanlah Darmakusuma, namun seharusnya Dursasana.
Ada lagi yang menyenangi Prabu Kresna, karena
kebijaksanaannya padahal ia senang melakukan fitnah untuk kepentingan
diri dan golongannya, maka lambangnya yang tepat bukanlah Prabu Kresna,
akan tetapi seharusnya Begawan Durna.
Dengan mendalami kisah pewayangan dari nama, negara,
senjata aji-aji dan sebagainya yang semuanya menggunakan bahasa KAWI,
bahasa yang digunakan sebelum Majapahit hingga saat-saat kejayaannya,
keemasannya, akan diperoleh kesan bahwa antara yang satu dengan yang
lainnya ada kaitan yang isi mengisi dalam makna dan artinya.
Maka disebutkanlah, bahwa wayang sekotak bagaikan
perlambang hidup sendiri. Atau dengan perkataan lain, dalam suatu kisah
wayang tokoh-tokohnya yang berperan satu sama lain saling isi mengisi jadi
tidaklah merupakan tokoh sendiri-sendiri. Tegasnya keseluruhan wayang
merupakan kesatuan mutlak.
Adapun KAWI berarti KUNO, dan berarti pula Pujangga atau
Bujangga. Bujangga berarti ular besar (Naga), atau "Ngolah kehalusan"
Yang halus adalah batin. Dari sebab itu kisah pewayangan, adalah kisah
kebatinan.
Kepujanggaan dalam wayang, mengharuskan kita dalam
menonton pertunjukan wayang, selain menikmati ceritanya juga harus dapat
memahami kehalusan (kebatinannya) yang terkandung di dalamnya. Sebab
soal pewayangan adalah soal kebatinan.
Dalam masyarakat kebatinan tokoh wayang yang amat terkenal
ialah BIMA, karena kisahnya yang sangat menarik. Bima adalah putra PANDU
DEWANATA, Raja di Astina dan KUNTI NALIBRATA yang bila diuraikan mengandung
arti sebagai berikut:
Pandu | = | Perintis |
Dewa | = | Manusia Utama |
Nata | = | Aturan/Ngatur |
Adapun Kuntinalibrata: | ||
Kun | = | Ingsun |
Ti | = | Nastiti |
Nali | = | Budi |
Brata | = | Gandrung |
Dan Astina: | ||
As | = | Linangkung |
Tina | = | Angen-angen (cita-cita) |
Kiranya kata-kata tersebut di atas dapat disusun dalam
suatu kalimat, yang akan berbunyi sebagai berikut:
"Yang menguasai angen-angen kang lingkung ialah Ingsun yang
nastiti, berbudi dan gandrung untuk merintis aturan kemanusiaan yang utama.
Istilah sekarang: Kemanusiaan yang adil dan beradab"
BIMA berarti menakutkan. Dalam kisahnya, Bima ini semenjak
Pandawa (keturunan Pandu) masih kecil sangat menakutkan kerabat Kurawa
(keturunan Kuru) karena dalam setiap perkelahian selalu dapat mengalahkannya.
Bahkan sangat menakutkan lagi, bila kelak setelah Pandawa
menginjak dewasa, Bima atas nama saudara-saudaranya akan menuntut haknya
atas Negara Astina.
Di antara tokoh-tokoh Kurawa terdapat antara lain:
SUYUDANA | : | Su = baik; Yuda = perang, jaman; Na = ada. |
DURSASANA | : | Dur = buruk; Sasana = tempat. |
CITRAYUDA | : | Citra = warna; Yuda = perang. |
CITAKSA/CITRAKSI | : | Citrak = sengsara, cilaka;
Sa = tunggal, sama; Si = lebih dan lain-lain. |
Penasehatnya adalah Begawan DURNA | : | Dur = buruk/mustahil; Na = ada. |
Arti nama tersebut di atas dapat disusun sebagai berikut:
Angen-angen kang linnangkung (ideologi yang tinggi = Astina)
meskipun pada/dalam jaman yang baik (SUYUDANA) namun masih adanya tempat-
tempat yang buruk/maksiat (DURSASANA) diwarnai suasana perang (CITRAKSA/
CITRAKSI) serta Penasehatnya sekalipun Begawan, namun yang selalu mengada-ada
keburukan (fitnah memfitnah) niscaya akan selalu menimbulkan kegoncangan
baik jasmaniah rohaniah.
Dengan susunan kalimat tersebut di atas, maka kita
sering disuguhkan dalam kisah pewayangan, di kala kerabat Kurawa menguasai
Negara Astina, selalu dirundung kemalangan dan keonaran yang berlarut-larut.
Atas permintaan Kurawa, Begawan Durna (pernah menjadi guru
Pandawa) memerintahkan Bima, supaya mencari tirta amerta (air yang tak
kena mati).
Bima segera memasuki alas Amber yang penuh dengan Roban
Banaspati. Amber = Luber (yang dimaksud tentu air).
Adapun sifat air dalam kebatinan, ialah putih lambang dari
nafsu Robani/Banaspati.
Bima sekalipun berhasil mengalahkan gangguan dan godaan
Robani/banaspati dan keluar dari alas Amber, namun tidak berhasil memperoleh
tirta amerta. Dalam hal ini dapat diartikan Bima telah berhasil mengalahkan
nafsunya sendiri yang bersifat Robani.
Selanjutnya Begawan Durna memerintahkan untuk mencari
telenging toya (inti sarining air) di dasar lautan.
Sekalipun Ibu serta saudara-saudaranya melarang Bima
melaksanakan perintah Begawan Durna, namun dengan alasan "Tiada Guru" yang
akan mencelakakan murid Bima langsung menuju laut dan terjun ke dalamnya.
Kesetiaan Bima yang kukuh kuat pendiriannya/kepercayaannya, maka disebutlah
ia SENA, yang berarti: Pikuwat. Bima yang kukuh kuat. Dalam perkelanaannya
di dasar lautan Sena bertemu dengan Dewa Ruci (Dewa Kerdil) yang menyerupai
dirinya, yang kemudian menjadi Dewa sesembahannya, kemana ia berkiblat
dan menuruti segala perintahnya.
Andaikata yang disebut Sena itu diri, maka Dewa Kecil yang
menjadi kiblat dan dituruti segala perintah/keinginannya ialah Sang Aku,
karena Akulah yang murba diri.
Tuhan Yang Maha Murba, yang menjadi asal dari semua Aku,
menguasai semua jagad raya ini.
Namun Aku yang berasal dari pada Nya hanya menguasai
dirinya sendiri.
Dari itu Aku ini kecil dibanding dengan Tuhan Yang Maha Esa,
yang akbar (Agung) tiada bandingannya, namun demikian Aku berasal dari Tuhan
Yang Maha Esa, maka mempunyai sifat yang sama ialah: tidak dapat ditunjuk
dengan telunjuk, dan tidak dapat diraba dengan pancaindera karena Aku bukan
lahir dan bukan batin, akan tetapi yang dikaruniai Tuhan dengan
lahir dan batin.
Oleh sebab itulah maka segala keinginan Aku diwujudkan
oleh lahir dan batin, tegasnya Akulah yang memerintah lahir dan batin,
seperti SENA berkiblat pada Dewa Ruci yang selalu mengikuti perintahnya.
Pertemuan Bima dengan Dewa RUCI, berarti BIMA telah bertemu dengan AKU-nya,
yang menunjukkan adanya telenging toya.
Adapun sari pati air (telenging toya) adalah cis-sir
Bapak/Ibu sebagai mani (sesoca yang Awis) karena sir Ibu dan sir Bapak yang
gumulung menjelma badan sekujur.
Dengan perkataan lain, sesudah bertemu dengan Sang Aku SENA
menemukan dirinya sendiri. Justru karena itu, maka ia dinamakan Batara Sena.
Sena yang suci. Sena yang dapat memisahkan antara yang wadag dan yang halus.
Maka Batara Sena memandang hakekat manusia itu sama, dari
Dewa sampai manusia yang paling rendah martabatnya, sehingga ia mempergunakan
tata dan bahasa yang sama pula.
Yang berbeda hanyalah kedudukan sosial dan tugasnya dalam
masyarakat. Terkecuali terhadap Ibunya ia berdatang sembah, karena sekalipun
segala umat dijadikan/dijelmakan oleh Tuhan Yang Maha Esa, namun ia tidak
jadi dengan sendirinya, sebab ia dilahirkan dari kandungan Ibu.
Kisah selanjutnya Batara Sena bertemu dengan Dewa Ular, yang
dapat dikalahkannya dan diberi gelar WREKUDARA. Wrekudara berasal dari kata
WREKA yang berarti Ular, dan DARA yang berarti besar. Ular besar (Naga) dalam
bahasa Kawi berarti PUJANGGA atau BUJANGGA. Tegasnya sekarang Batara Sena
telah mencapai kepujanggaannya. Wrekudara digambarkan tingginya sundul ke
langit dan mewarnai bumi, yang berarti tinggi cita-citanya dan luas pandangan
hidupnya mendalami setiap hati manusianya, mengembangkan sikap hidup dan
kehidupannya di jagad raya ini.
Wrekudara mempunyai senjata Rujakpolo, yang tentu berarti
tidak lain, bahwa untuk dapat memecahkan dan menguasai segala cita-cita,
pandangan hidup dan pengembangannya harus digunakan polo (otak) tegasnya
segala sesuatunya harus dipecahkan dengan polo (otak).
Di samping itu Wrekudara mempunyai aji-aji Bandung Bandawasa
Gandamana, yang berarti:
Bandung | : | dikitari/dikelilingi |
Banda | : | ikat |
Wasa | : | kuasa |
Ganda | : | rangkap |
Mana | : | hati |
Tegasnya, Wrekudara memahami, bahwa sekitar/sekeliling
tubuhnya dari rambut sampai telapak kaki, diikat oleh Penguasa Tuhan Yang
Maha Esa, sehingga bisa hidup/mubah musik (Bandung Bandawasa) disertai
pikiran rangkap, menyaring mana yang baik dan mana yang buruk. (Gandamana)
Ia memakai dodot "Bang bintulu aji" kain ber-kotak-kotak
berwarna: merah, kuning, putih dan hitam, yang melambangkan bahwa ia
menguasai nafsu amarah (sifat: merah); sawiah (sifat: kuning); Loamah (sifat
putih); Mutmainah (sifat: hitam).
Ia mempunyai aji-aji "Ungkal bener" ungkal = batu asahan;
bener = benar, untuk mengkaji segala kebenaran. Tegasnya Wrekudara bersikap
positif dan obyektif mengutamakan kebenaran.
Selanjutnya yang paling ampuh ialah Pancanaka. Panca = Lima;
Naka = kuku.
Dunia ini dapat dibangun segala peralatan dan kebutuhan
hidup serta senjata paling ampuh pun dapat dibuat dan diselesaikan dengan
baik, selain hasil kerja otak, namun pelaksanaannya adalah hasil 5 jari
yang ada pada tangan yang mengerjakan, baik kaum cendekiawan, buruh, tani,
dan lain sebagainya.
Maka 5 jari adalah senjata yang paling ampuh di dunia
melebihi segala alat yang ada, karena tanpa jari tidak akan dunia dapat
berkembang seperti sekarang ini.
Wrekudara memakai gelang "Candra Kirana". Candra berarti
bulan, Kirana berarti bintang. Adapun sifat bulan sangat berlainan dengan
matahari yang mengeluarkan sinar panas dan mengeringkan.
Namun bulan mengeluarkan sinar sejuk menyegarkan dan
mengembangkan segala kuncup. Bintang banyak yang digunakan sebagai patokan
bagi orang di darat (untuk kepentingan pertanian), di laut dan udara sebagai
patokan arah, juga lambang ketinggian martabat dalam karir.
Dalam hal ini Wrekudara sebagai Pujangga, mampu memberikan
suasana sejuk segar dalam kehidupan masyarakat memberikan arah dan
mengembangkan segala harapan, supaya berkembang dan berbuah, yang
mempertinggi karir dan derajat abdi Negara dan tanah air.
Selain dari itu Wrekudara memakai anting-anting kembang
manggis. Isi manggis akan sama dengan cupat yang ada di kulit luar.
Manggis bercupat lima berisi lima, bercupat enam akan berisi enam.
Dalam hal ini Wrekudara hanya mau mendengar hakekat yang
benar, sesuai antara luar dan dalam, antara lahir dan batin.
Sekalipun yang didengar terasa pahit seperti kulit manggis,
tetapi bila mengandung hakekat kebenaran seperti isi manggis yang putih
akan tetap dirasakan nikmat manisnya.
Tegasnya sebagai Pujangga, Wrekudara mau mendengar kritik
dan koreksi, karena dengan demikian akan memperoleh hakekat kebenarannya.
0 komentar:
Posting Komentar