Kamis, 24 November 2011
Menelusuri jejak sejarah
Kabupaten Kuningan, terutama membedah tokoh “Sang Adipati Kuningan”
yang pernah menjadi pemimpin pemerintahan di Kuningan pada masa
penyebaran Islam di Cirebon (Jawa Barat) dan sekitarnya akhirnya
dapatlah diungkapkan bahwa nama Sang Adipati Kuningan yang sebenarnya
adalah SURANGGAJAYA. Ia adalah putra Ki Gedeng Luragung (seorang kepala
daerah di Luragung) bernama JAYARAKSA. Jayaraksa juga punya saudara
laki-laki yang memimpin daerah Winduherang bernama BRATAWIYANA atau
BRATAWIJAYA (?) yang dijuluki juga Ki Gedeng Kamuning atau Arya
Kamuning.
Ketika Sunan Gunung Jati menyebarkan agama Islam, di antaranya sampai
pula ke Luragung, beliau disusul kedatangannya ke Luragung oleh
istrinya bernama putri Ong Tien (asal Campa) yang juga bernama Nyai Rara
Sumanding. Ketika itu sang istri sedang mengandung tua, dan di Luragung
pulalah akhirnya Nyai Rara Sumanding melahirkan anak. Namun sayang
putra yang baru dilahirkannya itu meninggal dunia. Untuk mengobati hati
beliau yang sedang berduka itu, kemudian Sunan Gunung Jati meminta
kepada Ki Gedeng Luragung untuk memungut putranya yang kebetulan masih
bayi untuk diangkat anak oleh Sunan Gunung Jati. Anak tersebut namanya
Suranggajaya.
Dalam cerita rakyat Kuningan versi lainnya yang berbau mitos
menyebutkan bahwa yang dilahirkan oleh Nyai Rara Sumanding bukanlah
anak, tetapi sebuah bokor yang terbuat dari logam Kuningan. Bokor
Kuningan inilah yang nantinya menjadi logo maskot Kota Kuningan, selain
Kuda Kuningan. Juga ada yang menyebutkan bokor kuningan itu sebagai
barang “panukeur” atawa “tutukeuranna” antara bayi dari Ki Gedeng
Luragung yang ditukar dengan bokor kuningan dari Nyai Rara Sumanding.
Cerita-cerita mitos ini memang banyak mewarnai dalam penelusuran sejarah
Kuningan.
Setelah ke Luragung perjalanan Sunan Gunung Jati diteruskan ke
Winduherang (yang dulu diduga sebagai pusat pemerintahan Kerajaan
Kuningan/Kajene) untuk menemui saudaranya Jayaraksa yaitu Bratawiyana
yang rupanya telah lebih dulu masuk Islam. Sementara itu pemegang tampuk
pemerintahan di Kerajaan Kuningan saat itu sedang diperintah oleh Nyai
Ratu Selawati (keturunan Prabu Langlangbuana). Ratu Selawati yang
tadinya penganut Hindu menjadi penganut Islam setelah menikah dengan
Syekh Maulana Arifin (putra dari Syekh Maulana Akbar). Syekh Maulana
Akbar sendiri adalah seorang ulama yang diduga asal Persia yang berhasil
sampai ke Kuningan dan menyebarkan Islam di sana. Kedatangannya ke
Kuningan waktu itu kiranya terlebih dahulu atas seijin Sunan Gunung
Jati penguasa Kerajaan Islam Cirebon yang mulai tumbuh dan giat
menyebarkan Islam. Kedatangannya Syekh Maulana Akbar menyebarkan Islam
ke Kuningan berarti lebih dulu daripada Sunan Gunung Jati. Mungkin dapat
dikatakan Syekh Maulana Akbar sebagai perintis penyebaran Islam ke
Kuningan, sementara Sunan Gunung Jati lebih menyempurnakan lagi. Kurun
waktu kedatangan Syekh Maulana Akbar menyebarkan Islam di Kuningan
diperkirakan mulai terjadi tahun 1450.
Ketika Sunan Gunung Jati sampai di Winduherang, beliau menitipkan
putra angkatnya tersebut (Suranggajaya) untuk diasuh oleh Bratawiyana
(Arya Kamuning). Selain itu Sunan Gunung Jati berpesan bahwa anak
tersebut setelah dewasa kelak akan diangkat menjadi penguasa daerah
Kuningan. Dalam masa pengasuhan Arya Kamuning ini bahkan anak yang
dititipkan itu diberi nama panggilan Raden Kamuning, kiranya untuk lebih
mendekatkan hubungan psikologis (batin) antara ayah (asuh) dengan putra
(asuh)nya.
Dalam sumber berita Cirebon (CPCN/Carita Purwaka Caruban Nagari) dan
buku karya P.S Sulendraningrat bahkan disebutkan lagi bahwa bersamaan
dengan mengasuh putra angkat Sunan Gunung Jati, sebenarnya Bratawiyana
(Arya Kamuning) juga punya anak yang sedang sama-sama dibesarkan (seusia
dengan Suranggajaya) yaitu Ewangga. Tetapi di sumber lain menyebutkan
bahwa tokoh Dipati Ewangga adalah seorang bangsawan yang asalnya dari
Parahyangan (Cianjur) yang pada awalnya ingin berguru/belajar agama
Islam kepada Sunan Gunung Jati, lalu oleh Sunan Gunung Jati
diperintahkan untuk pergi ke Kuningan saja membantu putra angkatnya
(yaitu Suranggajaya) dalam mengelola pemerintahan di Kuningan. Mana yang
benar, yang jelas keberadaan tokoh Dipati Ewangga kiprahnya banyak
diceriterakan sebagai tokoh “panglima” tentara Kuningan yang pernah
ikut membantu Cirebon dan Mataram ketika menyerang Belanda di
Batavia (sehingga ada nama perkampungan Kuningan di Jakarta).
Setelah dewasa, menginjak usia 17 tahun, akhirnya janji Sunan Gunung
Jati mengangkat putranya menjadi penguasa di Kuningan pun dilakukan.
Suranggajaya kemudian dilantik menjadi pemimpin Kuningan dengan julukan
populernya Sang Adipati Kuningan. Titimangsanya konon bertepatan dengan
tanggal 1 September 1478, yang diperingati sebagai hari lahirnya kota
Kuningan.
Namun bila dilihat secara politis, sebenarnya sejak saat itu
sebenarnya “Kerajaan” Kuningan telah jatuh. Tidak lagi sebagai kerajaan
yang berdaulat penuh atau merdeka, tetapi terikat menjadi daerah bawahan
Kerajaan Cirebon. Berarti kalau kita lihat eksistensi perjalanan
Kerajaan Kuningan sejak zaman Hindu dari awal kelahirannya, bernama
Kerajaan Kuningan (raja: Sang Pandawa) – Kerajaan Saunggalah (raja:
Demunawan/Rahangtang Kuku/Seuweukarma) merupakan kerajaan berdaulat
penuh. Kemudian dibawahkan oleh Kerajaan Galuh (raja: Rhy Banga), lalu
muncul lagi dijadikan pusat pemerintahan oleh putra Rakeyan Darmasiksa,
yaitu Prabu Ragasuci/Sang Lumahing Taman. Selanjutnya di bawah
penguasaan Sunda Padjajaran oleh Prabu Siliwangi. Lalu muncul Kerajaan
Kuningan dengan sebutan Kajene zaman Prabu Langlangbuana/Langlangbumi
dan diturunkan kepada Ratu Selawati (kerajaan kecil di bawah pengaruh
Kerajaan Sunda Pajajaran), dan akhirnya ketika diperintah Sang Adipati
Kuningan, pemerintahan kerajaan jatuh di bawah pengaruh Kerajaan
Cirebon.
0 komentar:
Posting Komentar