Senin, 02 April 2012
Masa Pra sejarah
Diperkirakan
± 3.500 tahun sebelum masehi sudah terdapat kehidupan manusia di daerah
Kuningan, hal ini berdasarkan pada beberapa peninggalan kehidupan di
zaman pra sejarah yang menunjukkan adanya kehidupan pada zaman
Neoliticum dan batu-batu besar yang merupakan peninggalan dari
kebudayaan Megaliticum. Bukti peninggalan tersebut dapat dijumpai di
Kampung Cipari Kelurahan Cigugur yaitu dengan ditemukannya peninggalan
pra-sejarah pada tahun 1972, berupa alat dari batu obsidian (batu
kendan), pecahan-pecahan tembikar, kuburan batu, pekakas dari batu dan
keramik. Sehingga diperkirakan pada masa itu terdapat pemukiman manusia
yang telah memiliki kebudayaan tinggi. Hasil penelitian menunjukan
bahwa Situs Cipari mengalami dua kali masa pemukiman, yaitu masa akhir
Neoleticum dan awal pengenalan bahan perunggu berkisar pada tahun 1000
SM sampai dengan 500 M. Pada waktu itu masyarakat telah mengenal
organisasi yang baik serta kepercayaan berupa pemujaan terhadap nenek
moyang (animisme dan dinamisme). Selain itu diketemukannya pula
peninggalan adat dari batu-batu besar dari zaman megaliticum.
Masa Hindu
Dalam
carita Parahyangan disebutkan bahwa ada suatu pemukiman yang mempunyai
kekuatan politik penuh seperti halnya sebuah negara, bernama Kuningan.
Kerajaan Kuningan tersebut berdiri setelah Seuweukarma dinobatkan
sebagai Raja yang kemudian bergelar Rahiyang Tangkuku atau Sang Kuku
yang bersemayam di Arile atau Saunggalah. Seuweukarma menganut ajaran
Dangiang Kuning dan berpegang kepada Sanghiyang Dharma (Ajaran Kitab
Suci) serta Sanghiyang Riksa (sepuluh pedoman hidup). Ekspansi
kekuasaan Kuningan pada zaman kekuasaan Seuweukarma menyeberang sampai
ke negeri Melayu. Pada saat itu masyarakat Kuningan merasa hidup aman
dan tentram di bawah pimpinan Seuweukarma yang bertahta sampai berusia
lama. Berdasarkan sumber carita Parahyangan juga, bahwa sebelum Sanjaya
menguasai Kerajaan Galuh, dia harus mengalahkan dulu Sang Wulan – Sang
Tumanggal – dan Sang Pandawa tiga tokoh penguasa di Kuningan (=
Triumvirat), yaitu tiga tokoh pemegang kendali pemerintahan di Kuningan
sebagaimana konsep Tritangtu dalam konsep pemerintahan tradisional suku
Sunda Buhun. Sang Wulan, Tumanggal, dan Pandawa ini menjalankan
pemerintahan menurut adat tradisi waktu itu, yang bertindak sebagai
Sang Rama, Sang Resi, dan Sang Ratu. Sang Rama bertindak selaku
pemegang kepala adat, Sang Resi selaku pemegang kepala agama, dan Sang
Ratu kepala pemerintahan. Makanya Kerajaan Kuningan waktu dikendalikan
tokoh ‘Triumvirat’ ini berada dalam suasana yang gemah ripah lohjinawi,
tata tentrem kerta raharja, karena masing-masing dijalankan oleh orang
yang ahli di bidangnya. Tata aturan hukum/masalah adat selalu
dijalankan adan ditaati, masalah kepercayaan / agama begitu juga
pemerintahannya. Semuanya sejalan beriringan selangkah dan seirama.
Ketika
Kuningan diperintah Resiguru Demunawan joke (menantu Sang Pandawa),
Kerajaan Kuningan memiliki standing sebagai Kerajaan Agama (Hindu). Hal
ini nampak dari ajaran-ajaran Resiguru Demunawan yang mengajarkan ilmu
Dangiang Kuning – keparamartaan, sehingga Kuningan waktu menjadi sangat
terkenal. Dalam naskah carita Parahyangan disebutkan kejayaan Kuningan
waktu diperintah Resiguru Demunawan atau dikenal dengan nama lain Sang
Seuweukarma (penguasa/pemegang Hukum) atau Sang Ranghyangtang Kuku/Sang
Kuku, kebesaran Kuningan melebihi atau sebanding dengan Kebesaran Galuh
dan Sunda (Pakuan). Kekuasaannya meliputi Melayu, Tuntang, Balitar, dan
sebagainya. Hanya ada 3 nama tokoh raja di Jawa Barat yang berpredikat
Rajaresi, arti seorang pemimpin pemerintahan dan sekaligus ahli agama
(resi). Mereka itu adalah:
Resi Manikmaya dari Kerajaan Kendan (sekitar Cicalengka – Bandung)
Resi Demunawan dari Saunggalah Kuningan
Resi Niskala Wastu Kencana dari Galuh Kawali
Perkembangan
kerajaan Kuningan selanjutnya seakan terputus, dan baru pada 1175
masehi muncul lagi. Kuningan pada waktu itu menganut agama Hindu di
bawah pimpinan Rakean Darmariksa dan merupakan daerah otonom yang masuk
wilayah kerajaan Sunda yang terkenal dengan nama Pajajaran. Cirebon
juga pada tahun 1389 masehi masuk kekuasaan kerajaan Pajajaran, namun
pada abad ke-15 Cirebon sebagai kerajaan Islam menyatakan kemerdekaannya dari Pakuan Pajajaran.
Masa Islam
Sejarah
Kuningan pada masa Islam tidak lepas dari pengaruh kesultanan Cirebon.
Pada tahun 1470 masehi datang ke Cirebon seorang ulama besar agama
Islam yaitu Syeh Syarif Hidayatullah putra Syarif Abdullah dan ibunya
Rara Santang atau Syarifah Modaim putra Prabu Syarif Hidayatullah
adalah murid Sayid Rahmat yang lebih dikenal dengan nama Sunan Ampel
yang memimpin daerah ampeldenta di Surabaya. Kemudian Syeh Syarif
Hidayatullah ditugaskan oleh Sunan Ampel untuk menyebarkan agama Islam
di daerah Jawa Barat, dan mula-mula tiba di Cirebon yang pada waktu
Kepala Pemerintahan Cirebon dipegang oleh Haji Doel Iman. Pada waktu
1479 masehi Haji Doel Iman berkenan menyerahkan pimpinan pemerintahan
kepada Syeh Syarif Hidayatullah setelah menikah dengan putrinya. Karena
terdorong oleh hasrat ingin menyebarkan agama Islam, pada tahun 1481
Masehi Syeh Syarif Hidayatullah berangkat ke daerah Luragung, Kuningan yang masuk wilayah Cirebon Selatan yang pada waktu itu dipimpin oleh Ki Gedeng Luragung yang bersaudara dengan Ki Gedeng Kasmaya dari Cirebon, selanjutnya Ki Gedeng Luragung memeluk agama Islam.
Pada
waktu Syeh Syarif Hidayatullah di Luragung, Kuningan, datanglah Ratu
Ontin Nio istrinya dalam keadaan hamil dari negeri Cina (bergelar: Ratu
Rara Sumanding) ke Luragung, Kuningan, dari Ratu Ontin Nio alias Ratu
Lara Sumanding lahir seorang putra yang tampan dan gagah yang diberi
nama Pangeran Kuningan. setelah dari Luragung, Kuningan, Syeh Syarif
Hidayatullah dengan rombongan menuju tempat tinggal Ki Gendeng Kuningan
di Winduherang, dan menitipkan Pangeran Kuningan yang masih kecil
kepada Ki Gendeng Kuningan agar disusui oleh istri Ki Gendeng Kuningan,
karena waktu itu Ki Gendeng Kuningan mempunyai putera yang sebaya
dengan Pangeran Kuningan namanya Amung Gegetuning Ati yang oleh Syeh
Syarif Hidayatullah diganti namanya menjadi Pangeran Arya Kamuning
serta beliau memberikan amanat bahwa kelak dimana Pangeran Kuningan
sudah dewasa akan dinobatkan menjadi Adipati Kuningan.
Setelah
Pangeran Kuningandan Pangeran Arya Kamuning tumbuh dewasa, diperkirakan
tepatnya pada bulan Muharam tanggal 1 Sep 1498 Masehi, Pangeran
Kuningan dilantik menjadi kepala pemerintahan dengan gelar Pangeran
Arya Adipati Kuningan (Adipati Kuningan) dan dibantu oleh Arya
Kamuning. Maka sejak itulah dinyatakan sebagai titik tolak terbentuknya
pemerintahan Kuningan yang selanjutnya ditetapkan menjadi tanggal hari
jadi Kuningan
Masuknya Agama Islam
ke Kuningan nampak dari munculnya tokoh-tokoh pemimpin Kuningan yang
berasal atau mempunyai latar belakang agama. Sebut saja Syekh Maulana
Akbar, yang akhirnya menikahkan putranya, bernama Syekh Maulana Arifin,
dengan Nyai Ratu Selawati penguasa Kuningan waktu itu (putra Prabu
Langlangbuana). Hal ini menandai peralihan kekuasaan dari Hindu ke
Islam yang memang berjalan dengan damai melalui ikatan perkawinan.
Waktu itu di Kuningan muncul pedukuhan-pedukuhan yang bermula dari
pembukaan-pembukaan pondok pesantren, seperti Pesantren Sidapurna
(menuju kesempurnaan), Syekh Rama Ireng (Balong Darma). Termasuk juga
diantaranya pesantren Lengkong oleh Haji Hasan Maulani.
Tags: kabupaten, Kuningan
3 komentar:
oke... Haturnuhun info'y kang.. Mampir ke blog saya di http://antoo_vr.mywapblog.com/
oke... Haturnuhun info'y kang..
Mampir ke blog saya di http://antoo_
vr7.mywapblog.com/
ulasannya komplit banget sobat :)
Posting Komentar