Jumat, 15 Juni 2012
Oleh: Mustafid
Karang Kamulyan adalah salah satu cagar budaya yang ada di Kabupaten Ciamis. Cagar budaya yang luasnya hamper 25 Ha ini merupakan peninggalan Kerajaan Galuh. Situs
ini terletak antara Ciamis dan Banjar, jaraknya sekitar 17 km ke arah
timur dari kota Ciamis.Berbicara mengenai Karang Kamulyan, fikiran kita
akan langsung tertuju pada sebuah situs peninggalan sejarah. Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Jilid III, situs adalah daerah
temuan benda-benda purbakala.Situs ini juga dapat dikatakan sebagai
situs yang sangat strategis karena berbatasan dengan pertemuan dua
sungai yakni Sungai Citanduy dan Cimuntur. Memang sampai sekarang belum
ada bukti otentik mengenai apakah di situs ini dulunya merupakan pusat
kerajaan Galuh atau bukan, tapi kalau kita kaitkan dengan kepercayaan
atau agama yang berkembang saat itu yaitu agama Hindu, daerah ini memang
cocok dijadikan pusat kerajaan Galuh karena berada dekat pertemuan dua
sungai tersebut.Kosoh S, dalam bukunya yang berjudul Sejarah Daerah Jawa
Barat mengemukakan:
“…
apabila ditinjau dari sudut pandang keagamaan dalam hal ini agama
Hindu, Karang Kamulyan adalah sebuah tempat yang letaknya sangat baik,
yaitu pertemuan dua sungai besar, yaitu Sungai Cimuntur dan Sungai
Citanduy”.
Selain itu, ia juga menjelaskan bahwa penduduk setempat dan juga Babad Galuh
menganggap bahwa Karang Kamulyan itu juga merupakan pusat Kerajaan
Galuh karena dilihat dari arti katanya sendiri, Karang Kamulyan artinya
tempat yang mulia atau tempat yang dimuliakan.
Para sejarawan dapat menyimpulkan bahwa agama yang dianut pada masa Kerajaan Galuh adalah agama Hindu karena berdasarkan Carita Parahyangan yang menyebutkan bahwa pemujaan yang umum dilakukan oleh Raja Galuh adalah sewabakti ring batara upati. Upati berasal dari bahasa Sansekerta utpati atau utpata, yaitu nama lain untuk Yama, dewa pencabut nyawa agama Hindu dari mazhab Siwa. (Nugroho Notosusanto ; 1993 : 358)
Berbicara mengenai Karang Kamulyan, kita
tidak bisa terlepas dari cerita Ciung Wanara, menurut masyarakat
setempat kisah ini memang menarik untuk ditelusuri, karena selain
menyangkut cerita tentang Kerajaan Galuh, juga dibumbui dengan hal luar
biasa seperti kesaktian dan keperkasaan yang tidak dimiliki oleh orang
biasa namun dimiliki oleh Ciung Wanara.
Masa kecil Ciung Wanara
dibesarkan oleh kakeknya Aki Balangantrang. Setelah dewasa, Ciung Wanara
dijodohkan dengan cicit Demunawan bernama Dewi Kancana Wangi, dan
dikaruniai puteri yang bernama Purbasari yang menikah dengan Sang
Manistri atau Lutung Kasarung.
Dalam usahanya merebut
kerajaan Galuh dari tangan Sang Tamperan, Ciung Wanara dibantu oleh
kakeknya yaitu Aki Balangantrang yang mahir dalam urusan peperangan dan
kenegaraan bersama pasukan Geger Sunten. Perebutan kerajaan ini konon
tidak dilakukan dengan peperangan, tapi melalui permainan sabung ayam
yang menjadi kegemaran raja dan masyarakat pada saat itu. Ciung Wanara
memenangkan permainan ini dengan mudah.
Ciung Wanara memerintah
selama 44 tahun (739-783 Masehi), dengan wilayah dari Banyumas sampai
dengan Citarum, selanjutnya setalah Ciung Wanara melakukan manurajasuniya (mengakhiri
hidup dengan bertapa), maka selanjutnya kerajaan Galuh dipimpin oleh
Sang Manistri atau Lutung Kasarung, menantunya. Ciung Wanara disebut
juga Sang Manarah, atau Prabu Suratama, atau Prabu Jayaprakasa
Mandaleswara Salakabuwana.
Sekarang kita kembali ke Situs Karang Kamaulyan, AMDG dalam situsnya www.navigasi.net menyebutkan bahwa
kawasan ini menyimpan berbagai benda-benda yang diduga mengandung
sejarah tentang Kerajaan Galuh yang sebagian besar berbentuk
batu.Batu-batu yang ada di lokasi ini memiliki nama dan kisah. Nama-nama
tersebut merupakan pemberian dari masyarakat yang dihubungkan dengan
kisah atau cerita tentang kerajaan Galuh.
Pangcalikan
Situs pertama yang akan kita lewati apabila
kita masuk ke Cagar Budaya ini adalah Pelinggihan (Pangcalikan).
Pelinggih merupakan sebuah batu bertingkat-tingkat berwarna putih serta
berbentuk segi empat, termasuk ke dalam golongan / jenis yoni (tempat
pemujaan) yang letaknya terbalik dan digunakan untuk altar. Di
bawah Yoni terdapat beberapa buah batu kecil yang seolah-olah sebagai
penyangga, sehingga memberi kesan seperti sebuah dolmen (kubur batu). Letaknya berada dalam sebuah struktur tembok yang lebarnya 17,5 x 5 meter.
Sahyang Bedil
Tempat yang disebut
Sanghyang Bedil merupakan suatu ruangan yang dikelilingi tembok
berukuran 6,20 x 6 meter. Tinggi tembok kurang lebih 80 cm. Pintu
menghadap ke arah utara, di depan pintu masuk terdapat struktur batu
yang berfungsi sebagai sekat. Di
dalam ruangan ini terdapat dua buah menhir yang terletak di atas tanah,
masing-masing berukuran 60 x 40 cm dan 20 x 8 cm. Bentuknya
memperlihatkan tradisi megalitikum. Menurut
kepercayaan masyarakat, Sanghyang Bedil kadangkala dapat dijadikan
sebagai pertanda akan datangnya suatu kejadian, terutama apabila di
tempat itu berbunyi suatu letusan, namun sekarang pertanda itu sudah
tidak ada lagi. Di samping
itu senjata memiliki arti perlambangan tersendiri yang telah dikenal
oleh masyarakat sekitarnya. Senjata merupakan lambang dari hawa nafsu.
Arti filsafatnya adalah bahwa hawa nafsu sering menyeret manusia ke
dalam kecelakaan ataupun kemaksiatan.
Penyabungan Ayam
Tempat ini terletak di
sebelah selatan Sanghyang Bedil. Masyarakat menganggap tempat ini
merupakan tempat penyabungan ayam Ciung Wanara dan ayam raja. Di samping
itu merupakan tempat khusus untuk memlih raja yang dilakukan dengan
cara demokrasi.
Lambang Peribadatan
Batu yang disebut sebagai
lambang peribadatan merupakan sebagian dari kemuncak, tetapi ada juga
yang menyebutnya sebagai fragmen candi, masyarakat menyebutnya sebagai
stupa. Bentuknya indah karena dihiasi oleh pahatan-pahatan sederhana
yang merupakan peninggalan Hindu. Letak batu ini berada di dalam
struktur tembok yang berukuran 3 x 3 x 0.6 m. Di tempat ini terdapat dua
unsur budaya yang berlainan yaitu adanya kemuncak dan struktur tembok. Struktur tembok yang tersusun rapi menunjukkan lapisan budaya megalitik, sedangkan kemuncak merupakan peninggalan agama Hindu. Masyarakat
menyebutnya sebagai lambang peribadatan atau lambang keagamaan, karena
dilihat dari bentuknya yang mirip dengan stupa.
Panyandaran
Terdiri atas sebuah menhir dan dolmen, letaknya dikelilingi oleh batu bersusun yang merupakan struktur tembok. Menhir
berukuran tinggi 120 cm, lebar 70 cm, sedangkan dolmen berukuran 120 x
32 cm. Menurut cerita, tempat ini merupakan tempat melahirkan Ciung
Wanara. Di tempat itulah Ciung Wanara dilahirkan oleh Dewi Naganingrum
yang kemudian bayi itu dibuang dan dihanyutkan ke sungai Citanduy.
Setelah melahirkan Dewi Naganingrum bersandar di tempat itu selama empat
puluh hari dengan maksud untuk memulihkan kesehatannya setelah
melahirkan.
Masyarakat mempunyai mitos
pada tempat ini. Sebagian masyarakat percaya bahwa kalau ada ibu-ibu
yang belum dikaruniai anak dan ingin mempunyai anak, maka harus
bersandar di tempat itu.
Cikahuripan
Di lokasi ini tidak terdapat
tanda-tanda adanya peninggalan arkeologis. Tetapi hanya merupakan
sebuah sumur yang letaknya dekat dengan pertemuan antara dua sungai,
yaitu sungai Citanduy dan sungai Cimuntur. Sumur ini disebut Cikahuripan
yang berisi air kehidupan. Sumur ini merupakan sumur abadi karena
airnya tidak pernah kering sepanjang tahun.
Makam Dipati Panaekan
Di lokasi makam Dipati
Panaekan ini tidak terdapat tanda-tanda adanya peninggalan arkeologis.
Tetapi merupakan batu yang berbentuk lingkaran bersusun tiga.
Dipati Panaekan adalah putra
kedua dari Cipta Permana (Prabu di Galuh) Raja Galuh Gara Tengah, ia
wafat karena dibunuh oleh adik iparnya sendiri yang bernama Dipati
Kertabumi (Singaperbangsa I) karena perselisihan paham dalam rangka
penyerbuan Belanda ke Batavia dimana Panaekan condong ke pendapat Dipati
Ukur sedangkan Singaperbangsa condong ke pendapat Rangga Gempol.
Setelah dibunuh, jasadnya dihanyutkan ke Cimuntur dan diangkat lagi
dipertemuan Sungai Cimuntur dan Sungai Citanduy lalu dikuburkan di
Karang Kamulyan.
Menurut juru kunci Karangkamulyan, Endan Sumarsana, didaerah karangkamulyan ini juga terdapat sebuah ”highway”
Padjajaran atau disebut juga jalan raya yang menghubungkan Padjajaran
dengan daerah-daerah disekitarnya. Jalan raya ini dimulai dari pusat
kerajaan Padjajaran, kemudian ke Cileungsi, Cibarusa, Warunggede,
Tanjung Pura, Karawang, Ciakao, Purwakarta, Sagalaherang,
Sumedanglarang, Tomo, Sindangkasih, Rajagaluh, Talaga, Kawali dan
berakhir di Karangkamulyan. Sekarang sisa dari jalan raya ini tidak
dapat kita lihat karena sudah berubah menjadi pemukiman penduduk.
Sekarang ini, masyarakat disekitar Karangkamulyan mempunyai tradisi yang
unik setiap menjelang datangnya bulan Ramadhan. Mereka menamai tradisi
ini dengan istilah ”Mager”. Tradisi ini dimulai dengan doa bersama yang
dipimpin oleh Kuncen atau juru kunci Karangkamulyan, setelah
itu masyarakat saling bersilaturahmi dan makan bersama di lokasi
tersebut. Masyarakat juga membawa bambu dan menggunakan bambu tersebut
untuk membuat pagar bambu mengelilingi pancalikan. Kegiatan ini juga
mempunyai arti tersendiri yaitu memagari atau membentengi umat muslim
yang akan melaksanakan ibadah puasa dari gangguan setan yang akan terus
menggangu umat manusia.
DAFTAR REFERENSI
Notosusanto, Nugroho. (1993). Sejarah nasional Indonesia II. Jakarta : Balai Pustaka
S, Kosoh, dkk. (—-). Sejarah Daerah Jawa Barat. Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional. Jakarta : CV. Dwi Karya
AMDG. (2006). Cagar Budaya Karang Kamulyan. [online]. Tersedia: http://www.navigasi.net/goarth.php?a=bukmln [9 Oktober 2007]
Marsellia, Mira. (2006). Bojong Galuh Karang Kamulyan Ciung Wanara. [online]. Tersedia: http://www.miramarsellia.wordpress.com/2006/10/09/ bojong-galuh-karang-lkamulyan-ciung-wanara/ [9 Oktober 2007]
Pikiran Rakyat. (2007). [online]. Tersedia: http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/ 0104/25/0801.html [9 Oktober 2007]
SMK Negeri 1 Ciamis. (2005). Karang Kamulyan [online]. Tersedia: http:// www.smkn1-cms.sch.id/ciamis/karangkamulyan.html [9 Oktober 2007]
0 komentar:
Posting Komentar