Selasa, 12 Juni 2012
A. Asal mula sebutan Gunungjawa
Pada
zaman dulu di Gunung Sukmana konon ada seorang Pendita yang bernama
Anjar Padang. Ia memiliki putri cantik yang bernama Nyi Endang Geulis,
karena kecantikannya, membuat seorang raja Mataram merasa penasaran akan
kabar kecantikan sang putri, lalu ia pun mengutus patih yang bernama
Niti Baga untuk menjemput sang putri untuk dijadikan permaesuri. Maka
Patih pun pergi ke Gunung Sukmana untuk menjalankan titah sang raja.
Setibanya
di tempat yang dituju, patih Niti Baga menyampaikan maksud dan
tujuannya kepada Pendita Anjar Padang, tanpa kesulitan patih berhasil
mendapatkan ijin dari sang Pendita, dan dapat memboyong putri ke
Mataram. Kepergian sang putri ternyata tidak dilepas begitu saja oleh
sang Pendita, ia pun ikut menggendongnya dengan sebuah kain (gembolan)
sampai kesuatu tempat yang cukup jauh dari tempat tinggal Pendita. Tiba
ditempat tersebut, Pendita menurunkan putrinya dan membuka kain
(gembolan) pelindungnya. Tempat membuka kain (gembolan) kini dikenal
dengan sebutan Jatigembol tepatnya di wilayah Kecamatan Cibingbin. Dari
tempat itulah sang Pendita melepas kepergian putrinya.
Dalam
perjalanan menuju Mataram rombongan sang putri istirahat sebentar,
tempat tersebut kini dikenal dengan sebutan Sindangjawa (Tempat
mampirnya orang Jawa), saat istirahat Nyi Endang Geulis menyempatkan
diri untuk mandi di sana. Pada saat mandi secara tidak sengaja melihat
sang putri yang sedang mandi, karena tertarik dengan kecantikannya,
patihpun akhirnya berniat ingin mempersunting Nyi Endang Geulis. Tempat
dimana hati patih jatuh hati kepada putri sekarang dikenal dengan nama
Cijangkelok (yang artinya Sungai tempat jatuhnya hati).
Untuk
memenuhi keinginannya, patih tidak melanjutkan perjalanan ke Mataram
tapi mengalihkan perjalanan menuju ke Banyumas bersama rombongan, tanpa
perasaan takut. Kepergian Patih Niti Baga dari Mataram sudah terbilang
lama hingga beberapa bulan, belum juga kembali, hal ini membuat raja
merasa gelisah, dalam hatinya penuh dengan banyak pertanyaan yang tidak
bisa terjawab. Akhirnya dengan beberapa pertimbangan ia bermaksud akan
mengutus pasukan untuk menyusul Patih ke gunung Sukmana. Tapi belum juga
pasukan yang ditugaskan berangkat, Pendita Anjar Padang datang
berkunjung ke istana untuk bertemu dengan putrinya.
Kejadian
ini membuat raja murka terhadap Patih, maka pasukan yang sudah
disiapkan untuk menyusul Patih, kini benar-benar diperintahkan untuk
mencari dan membawa patih Niti Baga beserta Nyi Endang Geulis dan
menerima hukuman mati dari kerajaan. Mendengar pembicaraan raja, Pendita
langsung pergi mencari putrinya, karena khawatir akan ancaman
raja.Karena kesaktiannya, Pendita itu lebih dulu menemukan Patih Niti
Baga beserta putrinya Nyi Endang Geulis, demi keselamatan, Pendita pun
akhirnya membawa mereka dan beberapa pasukannya menuju Gunung Sukmana.
Setibanya di kaki Gunung Sukmana, tepatnya di Cijurang (kini tempat tersebut dikenal dengan sebutan Lebak Cijurang),
Pendita Anjar Padang membuat goresan diatas tanah, dengan tujuan: siapa
saja yang berani melewati tanda garis yang digoreskan dengan pedang
saktinya dan berniat mencelakakan keluarga Pendita beserta pengikutnya,
maka akan binasa sebelum melewati garis tersebut.
Belum
juga satu bulan Pendita beserta pengikutnya berada di Gunung Sukmana,
pasukan Mataram yang ditugaskan untuk menyusul mereka tiba di sana.
Namun perjalanan mereka terhenti di kaki gunung ketika melihat goresan
aneh dihadapannya, suatu garis yang jelas mempunyai kekuatan dahsyat
sengaja digoreskan oleh seorang yang sakti, terbukti pasukan berkuda pun
tak mampu melewatinya. Bahkan, pasukan mereka seperti yang bingung dan
kuda-kuda mereka ketakutan, akhirnya pasukan Mataram berhenti beberapa
jam disana, setelah beristirahat akhirnya mereka memutuskan akan
memaksakan pasukan kudanya melewati garis, ketika mereka melewati garis
itu, seluruh pasukan binasa, termasuk kuda yang ditungganginya.
Empat
bulan lebih pasukan Mataram yang ditugaskan mencari Patih Niti Baga tak
kunjung kembali, maka raja Mataram merasa kesal dan marah, akhirnya
raja mengutus seorang pangeran sakti yang bernama Dipati Pasir beserta
putranya untuk menyusul pasukan pertama.
Setelah
menempuh perjalanan yang cukup melelahkan, pasukan Pangeran Dipati
Pasir dan putranya tiba di kaki Gunung Sukmana, tetapi sebelum mereka
sampai ke tempat goresan keris sakti, ternyata Pendita sudah berada di
sana, lalu ia memberi perhatian kepada pasukan Pangeran Dipati Pasir, agar tidak melewati garis yang dibuatnya, karena pasukan pertama pun dulu
binasa, akibat memaksakan diri melewati goresan tersebut. Mendengar
ancaman yang tidak main-main itu pasukan Pangeran Dipati Pasir berhenti
dan melanjutkan langkahnya menuju ke tampat lain.
Setelah
Pendita pergi, Pangeran Dipati Pasir memutuskan untuk tidak kembali ke
Mataram, karena takut akan ancaman raja, bahwa jika tidak berhasil
membawa putri Nyi Endang Geulis beserta Patih Niti Baga maka pasukannya
akan mendapatkan hukuman pancung dari kerajaan, begitupun untuk
melanjutkan perjalanan tidak mungkin, karena ancaman mati dari Pendita,
maka akhirnya mereka berjalan melingkar ke sebelah barat Gunung Sukmana.
Di
tempat yang datar, tepatnya sebelah barat Gunung Sukmana, mereka
membuat perkampungan kecil dengan membangun beberapa gubug sederhana
sebagai tempat tinggal. Mereka memilih tempat itu karena selain nyaman
juga dekat dengan sebuah sungai. Keadaan sungai yang kecil tapi airnya
mengalir deras dan jernih, dengan dasar tanah porang dan tidak berpasir,
sehingga air tidak mudah keruh. Lalu mereka menamakan perkampungan
tersebut dengan nama Kampung Ciporang (artinya Kampung Sungai Tanah Porang).
Secara
diam-diam Pangeran Dipati Pasir menjemput istri dan anak-anaknya dari
Mataram serta beberapa pengikut setianya untuk berkumpul di Ciporang.
Tempat tersebut sekarang dikenal dengan sebutan Gunungjawa, yang artinya
“orang-orang jawa membuka tempat tinggal di kaki gunung”.
Pendita Anjar Padang yang berada di Gunung Sukmana sebenarnya mengetahui
keberadaan mereka, tapi karena tidak mengganggu dan mereka memang
membelot dari rajanya, maka Pendita tidak merasa keberatan mereka
membuka perkampungan di sana. Bahkan Nyi Endang Geulis sering berkunjung
ke Ciporang beserta Patih Niti Baga. Kebiasaan Nyi Endang Geulis
sepulangnya dari Ciporang atau dari tempat lainnya tidak melewatkan diri
untuk mandi di kali yang airnya sejuk dan menyegarkan, tempat mandi
tersebut kini dikenal dengan nama Cigunung Geulis (Air Gunung tempat mandinya Endang Geulis).
Menurut
salah seorang Tokoh Masyarakat Bapak Suhandi, bahwa Patih Niti Baga
meninggal di kampung Ciporang, dan dikebumikan di bukit sebelah barat
kampung tepatnya di makam Gunung Purwa (Astana Gunung), makam
tersebut kini dikenal dengan sebutan makam Eyang Kapidin (Patih Niti
Baga). Sedangkan Nyi Endang Geulis konon dimakamkan di pasir Indang,
tepatnya sebelah timur kampung Ciporang, tapi ada pula yang mengatakan
ia hijrah ke wilayah Cirebon. Bahkan konon kini masih terdapat
peninggalan Pendita Anjar Padang beserta putrinya Nyi Endang Geulis
berupa makam dengan ciri terdapat dua buah batu, sebutan Pasir Indang
berarti: pasarean Endang Geulis.
B. Kampung Gunungjawa
Keturunan
Mataram yang membelot dari rajanya, yang dipimpin oleh Pangeran Dipati
Pasir, kini sudah membentuk sebuah perkampungan yang sangat subur dengan
masyarakatnya yang damai dan sejahtera. Mengetahui keadaan seperti itu,
walaupun mereka bertahun-tahun hidup di kampung tersebut, Pendita Anjar
Padang tidak pernah mengusik kehidupan mereka, bahkan sesekali putrinya
(Nyi Endang Geulis) berkunjung ke kampung meraka.
Pangeran Dipati Pasir adalah seorang pemimpin yang sangat disegani oleh semua orang, ia sangat bijaksana, cerdas dan sangat pandai. Beliau masih menetap di Kampung Ciporang sampai pada
akhirnya ia pun meninggal dunia, dan dimakamkan di lokasi pemakaman
kampung (Pemakaman Dipati Pasir) wilayah pemakaman umum sebelah barat
Pesantren Bani Sanjur Gunungjawa sekarang. Setelah Anjar Padang, Patih
Niti Baga (Eyang Kapidin), Nyi Endang Geulis dan Pangeran Dipati Pasir
meninggal, maka muncullah dua orang tokoh yang bernama Den Ayu Kaca dan
Buyut Ketan. Mereka adalah generasi penerus pemegang tampuk pimpinan dan juga tokoh leluhur Ciporang (Gunungjawa).
Perkampungan tersebut semakin ramai oleh penduduk, dan pada mulanya dipimpin oleh seseorang yang bernama Dalem Kertapala. Disana mereka hidup rukun dan damai, makmur dengan pencaharian pokok bertani dan bercocok tanam. Siklus perekonomian pun berjalan dengan mulus tanpa adanya gangguan, karena memang tempat mereka sangat strategis, perairan sangat cukup mendukung, suasana
sejuk dan nyaman serta pemandangan yang indah, disamping itu setiap
orang atau rombongan yang akan datang ke wilayah itu dengan mudah
terlihat dari perkampungan mereka, karena lokasinya yang tinggi,
sehingga setiap gerak-gerik yang kelihatan dan mencurigakan dengan mudah
dapat diketahui.
Kehidupan
terus berjalan mengiringi roda jaman, dari hari ke hari, bulan ke
bulan, tahun ke tahun, dan akhirnya perkampungan itu telah menjadi
sebuah perkampungan yang ramai dengan segala aktivitas penduduknya.
Beberapa pimpinan kampung telah terjadi pergantian secara adat dan turun
temurun, tapi setelah keturunan Dalem Kertapala tidak ada yang dapat
meneruskan tampuk kepemimpinan leluhurnya, maka pimpinan kampung di
pimpin oleh Demang yang bernama Demang Adiwiguna. Saat itulah pertama
kali pemimpin dapat dipilih secara demokrasi oleh masyarakat, dan sejak
itulah Ciporang mulai dikenal dengan sebutan Dukuh Gunungjawa yang
berarti Orang-orang Jawa berkumpul di Kaki Gunung. Kehidupan
masyarakat Gunungjawa yang sudah terbiasa hidup damai dan memiliki sifat
saling menghormati, maka siapapun pimpinannya tidak membuat mereka
berpecah-belah, tetapi justru saling menghormati antara satu dengan yang
lainnya.
Kecemasan
dan rasa takutpun sedikit demi sedikit berkurang, bahkan akhirnya
kehidupan mereka semakin merasa nyaman Pendita Anjar Padang beserta
putri dan rombongannya tidak ada lagi, tapi walaupun demikian satu
orangpun belum ada yang berani melewati garis yang digoreskan oleh
Pendita (Lebak Cijurang), karena mereka masih takut akan ancaman
Pendita.
C. Masa Awal Kampung Gunungjawa
Seiring
berjalannya waktu Gunungjawa telah berubah wajah menjadi sebuah desa
yang dipimpin oleh seorang Kuwu pertamanya H. Gontang. Ia seorang yang bijaksana, disegani oleh masyarakatnya, dan iapun sangat menyayangi warganya. Menurut keterangan beberapa tokoh Gunungjawa, bahwa pada sekitar tahun 1910-an sebagai awal dari pembangunan dibidang Pendidikan, khususnya pendidikan Agama, telah
di mulai kegiatan pengajaran membaca Al-Qur`an dan kitab-kitab
pelajaran tentang syariat Islam secara teratur dan terarah oleh seorang
ulama yang bernama Kyai Madrawi. Pada awalanya para pelajar (santri) hanya putra-putri Gunungjawa.
Hasil
didikan dan binaan Kyai Madrawi sangat menggembirkan, kehidupan
beragama di Gunungjawa bagitu nampak, misalnya saja setiap waktu sholat
Masjid yang sangat sederhana selalu dipenuhi oleh warga masyarakat yang
melaksanakan sholat berjamaah. Walaupun mata pencaharian mereka mayoritas bercocok tanam, tapi waktu sholat dzuhur mereka pasti pulang untuk melaksanakan sholat berjamaah, setelah melaksanakan sholat diantara mereka ada yang kembali melanjutkan aktivitasnya.
Banyak diantara santri yang telah menimba ilmu dari Kyai Madrawi
melanjutkan menuntut ilmu ke daerah lain, misalnya saja seorang putra
Gunungjawa yang bernama Hulaemi berhasil menuntut ilmu di Pesantren
Jagasara, Cidahu, pimpinan Kyai Abdul Halim. Sekitar tahun 1918 pada
saat kyai Madrawi berusia lanjut, maka beliau memerintahkan muridnya
yaitu Ajengan Hulaemi untuk melanjutkan misinya menyampaikan risalah dan ajaran Islam di Gunungjawa.
Kegiatan
pengajian di Gunungjawa semakin maju dan banyak dikunjungi para santri
dari berbagai daerah. Kehidupan islami tampak dari perilaku sehari-hari,
masyarakat yang ramah dan saling
menghormati, tolong-menolong diantara mereka, hampir tidak pernah
terdengar adanya kesenjangan di antara mereka. Berhubung banyaknya
santri yang berkunjung ke Gunungjawa mendorong Ajengan Hulaemi mendirikan Pesantren, maka pada bulan April 1920 Beliau mendirikan Pesantren Gunungjawa.
Setelah
berdirinya sebuah Pesantren, maka Gunungjawa semakin luas dikenal
masyarakat, keberadaan Pesantren akhirnya tersebar ke seluruh daerah,
khususnya daerah Kuningan, Cirebon dan Brebes Jawa Tengah.
D. Masa Proklamasi
Rangkaian
kepemimpinan H. Gontang hingga kepemimpinan Argasuwita di Desa
Gunungjawa yang nyaman, damai dan sejahtera itu, rupanya harus terhenti
oleh gejolak politik internasional, yaitu penjajah dari luar negeri
(Belanda) yang tujuan awalnya adalah mencari rempah-rempah ke wilayah
Negara Republik Indonesia, tapi pada akhirnya justru melakukan
penindasan hal ini jelas berimbas ke pelosok pedesaan.
Disusul
datangnya penjajah Jepang yang memiliki tujuan sama yaitu ingin
menduduki dan merebut negara Indonesia. Belanda pergi tapi datang
penjajah baru yang sama menjajah negeri ini. Pada tanggal 17 Agustus
1945, hari Jum`at Legi, bulan puasa, pukul 10.00, Bung Karno dan Bung
Hatta, atas nama rakyat memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jalan
Pegangsaan Timur 56, Jakarta. Kabar tersebut memang terlambat diterima
oleh masyarakat pedesaan, karena larangan penguasa Jepang, untuk
menyiarkan peristiwa penting tersebut. Baru pada tanggal 18 Agustus 1945
kabar tentang kemerdekaan Republik Indonesia ramai di dengar masyarakat
Gunungjawa.
Proklamasi
Kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945, disambut dengan suka cita,
oleh seluruh pemuda, santri dan warga masyarakat, namun perasaan suka
cita itupun tidak bertahan lama, pasalnya terdengar kabar bahwa setelah
Jepang pergi, Belanda kembali lagi ke Tanah Air, mendengar berita
tersebut maka seluruh pemuda, santri dan masyarakat Gunungjawa bertekad
mempertahankan Kemerdekaan hingga tetes darah
penghabisan, siap mempertahankan tanah Gunungjawa bersama-sama dengan
TNI. Hal itu dibuktikan oleh para pemuda, santri dan warga masyarakat
Gunungjawa, mereka selalu berusaha menghalang-halangi setiap gerak-gerik
tentara Belanda. Berbagai taktik dan siasat diupayakan untuk menghambat
aktivitas tentara Belanda, cara-cara yang digunakan oleh para pemuda
dan masyarakat Gunungjawa untuk melawan tentara Belanda adalah:
- Upaya menghambat jaringan informasi tentara Belanda dengan cara menggunting dan memutuskan kabel telepon, yang ada di jalur Luragung – Ciwaru.
- Setiap jalan yang akan dilalui tentara Belanda dipasang jebakan dan ranjau maupun perangkap lainnya yang dapat menghambat aktivitas tentara Belanda.
- Sebagian pemuda ada yang menjadi mata-mata dan pengintai aktivitas tentara Belanda.
Pada
masa itu, Pesantren Gunungjawa menjadi tempat persembunyian sekaligus
tempat berkumpulnya para tokoh pejuang golongan Islam, dalam menyusun
strategi dalam menumpas penjajah Belanda, mereka itu antara lain adalah
Kyai Zahid (ayah kyai Izzuddin) pimpinan Pondok Pesantren Buntet
Kabupaten Cirebon, Kyai Abdul Halim pimpinan Pondok Pesantren Jagasara
Cidahu, dan Kyai Moch. Suntana seorang pimpinan Lasykar Hizbullah
Kabupaten Cirebon dan sekaligus beliau adalah Kepala Desa Leuweunggajah
Kec. Ciledug Kabupaten Cirebon.
Setelah
penjajah Belanda terusir dari Tanah Air, mereka (Kyai Zahid, dan Kyai
Abdul Halim) kembali ke tempatnya masing-masing, kecuali salah seorang
dari mereka tidak kembali ke tempat asalnya Desa Leuweunggajah, beliau
adalah Kyai Moch. Suntana. Beliau menetap di Gunungjawa dan
mempersunting putri Gunungjawa Siti Khodijah, putri pasangan suami-istri
Mbah Jangkung Kertawijaya dan Hj. Siti Suryami.
Setelah
menikah dengan Siti Khodijah beliau menjadi pengajar pendidikan Agama
Islam di Pesantren bersama-sama dengan Ajengan Hulaemi, karena memang
beliau adalah jebolan Pesantren Jombang, Jawa Timur. Dikemudian hari
beliau lebih dikenal dengan nama Kyai Badrun. Desa Gunungjawa dalam
perjalanan menuju puncak kejayaan, tentunya harus diimbangi oleh
semangat perjuangan membela tanah air dan adat keturunannya, walaupun
rintangan terus menghadang, tapi seluruh masyarakat Gunungjawa selalu
sigap dan bersatu menghalau segala rintangan. Hal ini dibuktikan oleh
warga masyarakat Gunungjawa yang terus menerus membangun desanya secara
periodik dipimpin beberapa kuwu, sejak Kuwu H. Gontang hingga kepada
kuwu sesudahnya.
Tercatat
beberapa nama Kepala Desa yang pernah memimpin Desa Gunungjawa dari
masa penjajahan Belanda sampai masa Bedol Desa, yaitu:
1. H. Gontang : Tahun 1865
2. Cakradinata : 1866 - 1898
3. Argasuwita : 1898 - 1920
4. Raksasuwita : 1920 - 1946
5. Dahlan : 1946 (6 bulan)
6. Baskat : 1947 (3 bulan)
7. H. Wirya Atmaja : 1947 - 1967
E. Gunungjawa digempur Belanda dan Gerombolan DI/TII
Sebuah
desa yang jauh dari kebisingan kota, terletak di kaki Gunung Sukmana,
dengan tetumbuhan lebat disekitarnya, pasti lepas dari perhatian
kalangan masyarakat khususnya pemuda. Padahal di Desa Gunungjawa puluhan
bahkan ratusan rangka pejuang tak dikenal. Mereka gugur karena
mempertahankan kemerdekaan.
Pada
tahun 1947 yang silam, Belanda melancarkan Agresi I, ketika itu Belanda
dengan persenjataan lengkap membombardir Kota Cirebon dan sekitarnya.
Serangan mendadak itu mengagetkan penduduk setempat, antara lain
penduduk Ibu Kota Kuningan, Luragung, Ciwaru dan Cibingbin. Banyak
korban berjatuhan dalam serangan itu, baik dari pihak rakyat maupun
tentara, tidak terkecuali di Gunungjawa yang notabene termasuk wilayah
Ciwaru, dan berdekatan dengan kota Luragung dan Cibingbin.
Serangan
Belanda tersebut bukan tidak beralasan, karena memang daerah-daerah
tersebut dinilai sebagai basis pejuang-pejuang Jawa Barat. Selain
Bandung apalagi Cirebon pertama kalinya diumumkan Kemerdekaan Indonesia
oleh saudara Soedarsono (Ayah Prof. Yuwono Soedarsono), pada tanggal 16
Agustus di Desa waled-Cirebon.
Setelah
mendapat serangan gencar terjadi pengungsian besar-besaran dari Cirebon
ke Ciwaru dan Gunungjawa, Keputusan itu berdasarkan kesepakatan Dewan
Pertahanan Keresidenan Cirebon dan Brigade V, yang sebelumnya
merencanakan pengungsian itu ke daerah Bobos Mandirancan. Pasukan yang
pertama datang ke Ciwaru dan sekitarnya pada awal Agustus 1947 adalah
pasukan kelaskaran yang dikenal dengan nama Pasukan Istimewa (PI)
berkekuatan satu bataliyon dipimpin oleh Kapten Safei dan Letnan Said.
Selanjutnya ratusan pengungsi secara bergelombang berdatangan ke Ciwaru
dan Gunungjawa, baik Pegawai pemerintah, tokoh masyarakat, Kepolisian
Karesidenan Cirebon, dan tidak sedikit rakyat biasa turut mengungsi ke
wilayah Ciwaru dan Gunungjawa. Selain dari PI pasukan kelaskaran lainnya
berdatangan seperti dari Divisi Bambu Runcing (BR) dari Yogyakarta
dibawah pimpinan Kolonel Sutan Akbar, yang mendapat surat tugas resmi
dari Jenderal Sudirman, pasukan BR ini kebanyakan bermukim di
Gunungjawa. Menyusul Pasukan Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS)
dan kehadiran Bataliyon 400 tentara Pelajar Republik Indonesia (TRIP)
pimpinan Salamun AT dan AF Wirasutisna ke wilayah Ciwaru dan sekitarnya
serta mendapat sambutan masyarakat Gunungjawa.
Masyarakat
Gunungjawa sangat gigih dalam mempertahankan kemerdekaan, jiwa juang
dan kepatuhan terhadap Pemerintah Republik Indonesia tak pernah
tergoyahkan. Belanda jengkel, Mereka bertindak! Pada suatu hari
melayang-layang sebuah kapal terbang tipe capung yang bertugas sebagai
pengintai di atas hutan dan perbukitan sekitar wilayah desa Gunungjawa,
Cileuya, Pabuaran dan Ciwaru. Tidak lama kemudian menderu-deru tiga buah
kapal Bomber. Gubug-gubug persembunyian geriliyawan di hutan-hutan dan
perbukitan, juga rumah penduduk Gunungjawa dan sekitarnya yang
disinyalir ditempati pasukan Hizbullah pimpinan Une dibombardir disertai
peluru mitraliur. Gunungjawa saat itu banjir darah dan jerit tangis
penduduk yang kehilangan sanak saudara dan tempat tinggal mereka luluh
hancur dilumat bom dan peluru ganas. Banyak pejuang dan rakyat menjadi
korban tindakan diluar perikemanusiaan Militer Belanda. Tapi tindakan
kejam itu tidak mematahkan semangat perlawanan warga masyarakat. Justru
sebaliknya perlawanan rakyat dan geriliyawan Hisbullah kian merajalela.
Pada
bulan Februari 1949 tentara Belanda ditarik dari wilayah Ciwaru,
Pabuaran dan Gunungjawa, yang tersisa hanya Markas Perwakilan Belanda
yang berkedudukan di Desa Segong. TNI secara bergelombang terus
berdatangan dari Yogya. Jalur yang ditempuh TNI melalui jalur Cimara
melalui perkampungan Indrakila (sekarang Indrahayu) dan Gunungjawa
sebagian dari mereka ada yang melanjutkan perjalanan menuju Sumberjaya,
karena di Desa Segong masih ada Markas Belanda, maka jalur yang lewati
melalui Desa Kaduagung - Margacina - lalu tembus ke Sumberjaya.
Sebenarnya mereka akan melanjutkan perjalanan ke daerah Cijambu Subang.
Akhirnya wilayah Gunungjawa, Pabuaran Getasan dan Ciwaru diduduki TNI
Kompi Kusuma Negara pimpinan Kapten Mustofa Sudirja.
Hal
ini tercium oleh pihak Belanda. Diawali dengan melayang-layangnya
sebuah kapal terbang tipe capung, perkampungan Gunungjawa dan sekitarnya
termasuk Ciwaru sebagai basis persembunyian para geriliyawan dihujani
peluru Kanon yang ditembakan dari Luragung tidak kurang dari 150 butir,
tidak puas dengan penyergapan Belanda beralih menghujani wilayah
Gunungjawa dari arah Cileuya dengan tembakan kanon yang menghancurkan
perkampungan penduduk, dilakukan sekitar pukul 19.30 WIB (setelah
sahalat Isya), tembakan kanon menghujani kampung Margacina. Pukul 22.00
WIB Belanda kembali menghujani dengan tembakan kanon dari Cileuya, kini
giliran Desa Gunungjawa yang jadi sasaran. Gedung SR (Sekolah Rakyat)
hancur lebur jadi sasaran, rumah penduduk banyak yang hancur. Tidak
sedikit rakyat dan pejuang luka-luka berat maupun luka ringan, salah
seorang warga yang menjadi saksi hidup saat itu terkena tembakan
keganasan peluru Belanda yaitu Bapak Sarju (bapak Sahri). Sementara itu
Belanda secara rutin mengadakan patroli ke desa-desa dan mengadakan
penyergapan secara mendadak ke kampung-kampung yang dicurigai sebagai
tempat persembunyian geriliyawan, terutama desa Gunungjawa yang dianggap
basis Hisbullah pimpinan Une, penyergapan dilakukan dikala fajar
menyingsing. Pada suatu siang hari pesawat terbang tipe capung kembali
menghujani peluru dari atas Desa Gunungjawa.
Berikut
ini adalah nama-nama korban luka berat dan ringan pada waktu terjadinya
penembakan Belanda disiang hari, tepatnya hari selasa, tanggal 22
November 1947, yaitu: Bapak Sajud, Ibu Suryi Istri Kuwu Dahlan, dan
Bapak Waspi.
Gunungjawa
salah satu desa dari 369 desa di Kabupaten Kuningan bagian Timur, yang
memiliki nilai histories tersendiri pada masa penjajahan Belanda. Pada
masa penjajahan, penduduk Gunungjawa tidak hanya menghadapi gempuran
serdadu Belanda, tetapi justru diserang pula oleh gerombolan DI/TII.
Gerombolan DI/TII sering menteror penduduk, bahkan tidak segan-segan
mereka membunuh penduduk yang tidak mengikuti keinginannya, tak pelak
lagi rumah Kuwu Baskat (Kepala Desa) pun jadi amukan gerombolan DI/TII
yang ujung-ujungnya rumah tersebut dibakar habis dan ia meninggal pada
tahun 1947. Itulah rumah kedua di Gunungjawa yang dibakar setelah rumah
Bapak Eman.
Perjuangan
yang tidak pernah berhenti, itulah Gunungjawa, sejak pergolakan
penjajah Belanda, desa kecil ini terus mengalami tekanan dan gempuran
hebat, sejak Belanda pertama datang ke tanah air, dilanjutkan dengan
penjajah Jepang, walaupun tidak begitu lama tapi pergolakan Jepang tetap
saja menelan korban. Jepang pergi muncul kembali Belanda untuk yang
kedua kalinya, terjadi konflik tiga dimensi antara tentara Hisbullah
pimpinan Une, TNI dengan gerombolan DI/TII Pimpinan Karto Soewiryo,
kejadian tersebut berakibat terjadinya korban, bukan saja dari
pihak-pihak konflik, tetapi berimbas kepada penduduk.
Suasana
desa kian porak-poranda setelah gerombolan DI/TII membabi buta menteror
perkampungan Gunungjawa, dua rumah penduduk habis dibakar dan banyak
penduduk yang tidak berdosa menjadi korban keganasan gerombolan.
Akibatnya banyak menelan korban jiwa, harta benda, termasuk kegiatan
pendidikan menjadi terlantar.
GUNUNGJAWA CIKAL-BAKAL DESA KARANGKANCANA
A. Perpindahan dan Pergantian Nama Desa Gunungjawa ke Karangkancana
Keadaan desa yang porak-poranda, perkampungan yang sudah tidak lagi aman, kehidupan masyarakat yang semakin terancam, pendidikan anak-anak terlantar, sulit mencari pencaharian, penduduk dihantui rasa takut jika menjelang petang, sungguh sebuah desa yang mencekam dan menakutkan.
Kondisi
seperti itu rupanya membuat seorang tokoh merasa terpanggil untuk
mencari solusi dan segera keluar dari kemelut yang terus menjerat
penduduknya Maka pada tanggal 14 September 1949 Kepala Desa Gunungjawa
(Wirya Atmaja) membuat kebijakan cermat dan tepat ia memberikan
ultimatum menginstruksikan kepada seluruh penduduk Desa Gunungjawa untuk
melakukan evakuasi ke daerah yang dianggap aman, setelah instruksi dikeluarkan banyak diantara mereka yang mengungsi, ada yang mengungsi ke Kaduagung, Getasan, Pabuaran, Cileuya, Ciwaru, ada pula diantara mereka yang mengungsi ke kota Kuningan, bahkan tidak sedikit diantara warga
masyarakat Desa Gunungjawa mengungsi ke daerah Luragung dan sekitarnya
khususnya di Kampung Situ Luragung. Banyak diantara mereka yang harus
rela kehilangan tempat tinggal, harta benda, sanak saudara dan meninggalkan desa tercinta. Tak elak lagi keberadaan Gunungjawa menjadi sebuah desa yang sepi dan mati, tidak tampak lagi penduduk yang berada di sana, tak terkecuali keberadaan pesantrenpun otomatis bubar, karena tidak ada lagi yang menetap disana, inilah akhir kehidupan Pesantren Gunungjawa (tanggal 4 Oktober 1949)
Atas
dasar perikemanusiaan dan rasa tanggungjawab yang tinggi, maka Kepala
Desa Gunungjawa Wirya Atmaja menghimpun kembali masyarakatnya.
Disebarkanlah pengumuman keseluruh masyarakat Gunungjawa yang saat itu
menyebar diluar desa untuk kembali ke Gunungjawa, akhirnya pada tanggal 3
Agustus 1951 masyarakat Gunungjawa mulai berkumpul ditempat yang baru,
di tanah bengkok perangkat desa dengan status tanah hak pakai.
B. Pengorbanan yang patut diteladani
Untuk
meresmikan perpindahan warga tersebut, maka pada tanggal 30 Juni 1952
para tokoh masyarakat Desa Gunungjawa diantaranya: Wirya Atmaja, Moh.
Suntana (Kyai Bandrun), Nata Sukatma, Abah Jusa, dan Sastradinata, dan
Yusuf mengadakan kumpulan (musyawarah) di Kampung Getasan, untuk
kemudian melaksanakan rapat lanjutan sebagai tindaklanjut Musyawarah
Getasan yang bertempat di Balai Desa sekitar pukul 10.00 untuk
menyatakan kehendak warga, dengan isi pernyataan sebagai berikut:
1.
Memindahkan kedudukan ibukota desa Gunungjawa beserta 3 buah kampung
lainnya (Margacina, Banjaran dan Jabranti/Situ wetan) ke tempat lain
yang lebih aman.
2. Tempat baru yang dimaksud pada poin satu yaitu sebidang tanah bengkok yang berlokasi berada di sebelah Barat Desa Gunungjawa.
3.
Pemindahan dimaksud dilakukan dengan alasan di Desa Gunungjawa
seringkali didatangi gerombolan DI/TII pengacau keamanan yang selalu
mengadakan berbagai tekanan kepada warga masyarakat, selain itu sering
pula terjadi pertempuran-pertempuran yang dahsyat antara TNI dengan
gerombolan DI/TII, sehingga warga masyarakat merasa tidak aman dan
banyak yang mengungsi ke tampat lain.
4. Mengganti nama desa Gunungjawa dengan nama desa yang baru, yaitu “Karangkancana”.
5. Mengajukan perubahan status tanah bengkok dari tanah hak pakai menjadi tanah hak milik warga masyarakat.
6.
Pemindahan tempat kedudukan desa Gunungjawa ke tempat baru tersebut
dalam kenyataannya telah dilakukan sejak tanggal 3 Agustus 1951. (Sumber: Catatan Harian Bpk. Wirya Atmaja)
Pernyataan tersebut sebagai dasar untuk mengajukan permohonan kepada Gubernur Jawa Barat melalui Bupati Daerah Kuningan
tentang “Pemindahan tempat kedudukan Desa Gunungjawa Kecamatan Ciwaru,
dan permohonan Pergantian nama desa menjadi sebutan baru: KARANGKANCANA”.
Pada
tanggal 30 Juli 1952 Kepala Desa Wirya Atmaja mengajukan surat
permohonan kepada Gubernur Jawa Barat melalui Bupati Daerah Kuningan
dengan melampirkan hasil pernyataan kehendak warga tersebut diatas,
karena hanya itulah jalan yang terbaik bagi warganya, dan hanya
disanalah tempat yang dipandang aman untuk sebuah pemukiman penduduk.
Secara
resmi SK Gubernur Jawa Barat terbit tanggal 28 Juli 1954 dengan SK
Nomor: 1217/17-K/Reg.79/GDB/UD/54. Dengan terbitnya SK Gubernur tersebut
maka Gunungjawa telah berubah menjadi wajah baru dan nama yang baru
pula, yaitu Desa Karangkancana yang berada tepat sebelah barat dari
tempat desa yang lama. Sebuah pengorbanan yang patut diteladani,
perangkat desa rela melepas bengkoknya demi kepentingan yang lebih besar
dan mulia, yaitu tempat tinggal penduduk.
Tempat baru bekas sawah bengkok perangkat desa tersebut menjadi sebuah pemukiman baru dengan nama desa “KARANGKANCANA”, (Kampung Halaman yang Bertaburkan Emas)”.
Sumber :
http://mimuhammadiyahsegong.blogspot.com/2011/10/sejarah-berdirinya-desa-karangkancana.html
0 komentar:
Posting Komentar